TUGAS
SOFTSKILL
ASPEK HUKUM
DALAM EKONOMI
“KASUS
INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEREKONOMIAN”
RERE TRESHA
2EB19
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014-2015
CONTOH KASUS EKSPOR
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk
Kertas Indonesia ke Korea
3.1 Latar Belakang
Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya
melalui subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff
untuk memasukkan industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era
Globalisasi teknologi dan informasi seperti sekarang ini, Negara atau
pemerintah akan berusaha mendorong industrinya untuk bersaing di pasar
internasional dan untuk bersaing perlu berbagai perbaikkan kualitas baik tenaga
kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara berkembang pada umumnya akan
memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi khususnya industri yang
benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia juga mengambil
kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan non
tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan
kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini
yang menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia.
3.2 Kerangka Pemikiran
Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi,
akibat tindakan proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong
perekonomiannya, maka WTO membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat
masalah ini merupakan masalah yang sering terjadi terkait masalah dumping dan
terdapat dua macam aturan subsidi atau dukungan:
1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara anggota harus menetapkan
level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat yang diperbolehkan;
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering
disebut sebagai Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga
Negara anggota boleh menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk
misalnya perlindungan lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS)
terdapat tiga kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini
berkaitan dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling
mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari
persentase dari nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar
Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute
Settlement Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi
diantara anggota-anggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah
Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor
tersebut dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang berlaku di
pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan perdagangan suatu Negara harus
membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut menyebabkan kerugian
terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus
dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari
kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang
sangat sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan
penyelidikan antidumping atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS
melakukan penyelidikan atas 366 kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus.
Sementara itu, China melakukan penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di
antaranya dikenai BMAD. Turki juga menyelidiki tuduhan praktek dumping 101
kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD. Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD
terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang
telah disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang
dimaksud subyek hukum internasional disini adalah semua subyek hukum yang
mengatur aspek-aspek ekonomi baik yang sifatnya nasional maupun internasional
(termasuk hukum internasional publik dan hukum perdata). Yang merupakan
subyek hukum disini adalah negara yang harus memenuhi syarat sebagai negara
yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan kemampuan melakukan
hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu yang statusnya tergantung
kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan tersebut karena
kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi (bisnis)
dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan
Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya
untuk menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality
yakni kemampuan untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum
lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara
berdaulat berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah
ditetapkan di WTO yang menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak
mengingat semua yang mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati
kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih
merupakan sumber hukum internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi
Internasional menurut Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain
kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang diakui oleh negara bangsa,
keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.
3.3 Analisis Kasus
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan
Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper
ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan
tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD)
sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat
adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor
woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar
AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya,
Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB)
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui
proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO
dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel
DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya
praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan
kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian
akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
3.4 Penyelesaian Kasus
Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional
secara jelas menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional
yakni dua negara di Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO
mengingat keduanya merupakan negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang
terjadi menjadi unsur ekonomi yang terbungkus dalam hubungan dagang
internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur aktor-aktor non negara yang
berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu perusahaan-perusahaan yang
disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk ekspor. Dumping merupakan
suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga yang lebih murah dari
harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO. Indonesia meminta
bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti dumping yang
dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa point
artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel
lainnya dan Indonesia
juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules and
Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea
bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping
impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal
7 november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel
kesepakatan WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff
seperti yang tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang
merupakan suatu badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang
perdagangan. Ini menegaskan bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di
cakupan Internasional, bersifat legal dan bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal
atau hukumnya terlihat juga dengan adanya tindakan Retaliasi oleh pemerintah
Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’ dengan tidak
melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus dumping kertas
tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam WTO.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen
Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan
Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk
produk kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk
melaksanakan paling lama delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir
pada Juli 2006. Panel DSB menilai Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan
adanya praktik dumping kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas
melanggar ketentuan antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin
dumping sesuai dengan hasil panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang
dari dua persen atau deminimis sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk
antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen
juga tidak ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu
upaya pembalasan atas kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat
mengenakan bea masuk atas produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian
yang sama selama pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade
Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel mengenakan BMAD 2,8-8,22
persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah disebutkan diatas
yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT
Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam
membuat tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia
mencapai 47,7 persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper
copier dan undercoated wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000;
4802.55; 4802.56; 4802.57; dan 4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur
terhadap Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan
konsultasi. Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun
gagal. Korea masih belum melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea
mengulur-ulur waktu. Tindakan Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas
Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok hingga 50 persen dari US$ 120 juta.
Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel juga menyita waktu cukup
lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping
Korea-Indonesia pada
akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum
terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan
pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam
negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu, diperlukan
penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di
dalam negeri) yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum
pernah menerapkan BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara
lain telah menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk
kepada Indonesia. Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka
penyelidikan, negara yang mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai
perhitungan injury (kerugian) sementara. Jika negara eksportir terbukti
melakukan dumping, maka dapat dikenakan sanksi berupa BMAD sesuai hasil
penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus mengefektifkan Komite Anti Dumping
Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang bertugas melaksanakan
penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti dan informasi
mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan impor.
KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan
dan pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu
termasuk cara penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan
perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik
(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang
tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping
itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut
menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan
berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara
itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada akhirnya dimenangkan
oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus
dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan
antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi
industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.